DANANG SUTOWIJOYO
Pada
saat Sultan Hadiwijaya bertahta di Kerajaan Pajang, beliau merasa
prihatin atas penderitaan Nyai Kalinyamat yang bertapa di Trunawaja
lantaran dendamnya terhadap Arya Penangsang. Oleh Sultan Hadiwijaya,
Nyai Kalinyamat lalu dibujuk agar mau pulang ke Pajang. Namun, Nyai
Kalinyamat menolaknya. Ia baru bersedia kembali ke Pajang asalkan Arya
Penangsang dibunuh. Sultan Hadiwijaya menyanggupi permintaan tersebut,
tetapi Nyai Kalinyamat diminta pulang dulu ke Pajang.
Ketika
telah berada di Pajang, segeralah Kanjeng Sultan (Sultan Hadiwijaya)
memikirkan cara yang akan ditempuh untuk mengalahkan dan membunuh Arya
Penangsang. Pekerjaan itu tidak mudah, sebab Arya Penangsang terkenal
sangat sakti dan mempunyai keris pusaka yang sangat ampuh bernama Kyai
Setan Kober. Tiap hari Kanjeng Sultan selalu memikirkannya, tetapi belum
juga menemukan cara yang dianggap baik. Akhirnya, setelah sekian lama
tidak juga menemukan caranya, lalu dipanggillah kedua patihnya, Ki Ageng
Pemanahan dan Ki Penjawi, untuk diajak berunding.
Setelah
keduanya menghadap, Kanjeng Sultan mulai menceritakan persoalannya.
Singkat cerita, di hadapan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi, Kanjeng
Sultan menjanjikan ganjaran berupa tanah di Pati dan tanah yang terletak
di hutan Mentaok apabila mereka berhasil membunuh Arya Penangsang atau
Arya Jipang.
Setelah
itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian berunding. Dalam
perundingan itu, Ki Ageng Pemahanan menyampaikan pendapatnya kepada Ki
Penjawi, bahwa tidak ada orang lain yang mampu membunuh Arya Penangsang
selain Danang Sutawijaya. Ki Penjawi pun sependapat dengan Ki Ageng
Pemanahan. Danang Sutawijaya sebenarnya adalah anak kandung Ki Ageng
Pemanahan, tetapi sejak kecil telah dijadikan sebagai anak angkat oleh
kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ia adalah seorang pemuda yang cakap, serta
menguasai olah kanuragan.
Kemudian,
Ki Ageng Pemanahan memanggil Danang Sutawijaya untuk memberinya tugas
membunuh Arya Penangsang. Danang Sutawijaya pun menyetujuinya. Dalam
percakapan tersebut Ki Ageng Pemanahan memberikan nasihat-nasihat agar
Danang Sutawijaya dapat memenangkan pertarungan melawan Arya Penangsang.
Nasihat-nasihat tersebut adalah: (1) janganlah sekali-kali mendahului
lawan mencebur Sungai Bengawan, apalagi menyeberanginya. Apabila ia
nekat mendahului mencebur Sungai Bengawan, maka ia pasti kalah. Konon,
apabila terjadi peperangan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu
turun ke sungai akan kalah; (2) jangan mudah terpancing oleh lawan.
Bagaimanapun tingkah laku Arya Penangsang, Danang Sutawijaya harus tetap
berada di pinggir Kali Bengawan; dan (3) harus memakai kuda betina.
Setelah
itu, Danang Sutawijaya diberi senjata pusaka berupa sebuah tombak yang
bernama Kyai Plered. Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawa dan Danang
Sutawijaya kemudian berunding untuk mencari cara agar Arya Penangsang
dapat ditaklukkan. Dalam perundingan itu dicapailah kesepakatan bahwa Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi akan pergi ke Jipang untuk memancing
Arya Penangsang agar bersedia bertarung di Sungai Bengawan. Sementara
Danang Sutawijaya disuruh untuk bersiap-siap menghadapi Arya Penangsang
di tepi Sungai Bengawan.
Keesokan
harinya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi berangkat ke Jipang untuk
memancing kemarahan Arya Penangsang. Sampai di sana mereka bertemu
dengan seorang pekatik (pemelihata kuda) yang sedang mencari rumput.
Kebetulan pekatik yang ditemui itu adalah orang yang mengurusi kuda
milik Arya Penangsang atau Arya Jipang. Melihat pekatik itu Ki Ageng
Pemanahan memanggilnya dan langsung mengikatkan sepucuk surat di telinga
si pekatik. Sesudah itu si pekatik disuruh pulang untuk menyerahkan
surat tersebut kepada Arya Penangsang. Adapun isi surat itu adalah
tantangan kepada Arya Penangsang untuk bertarung di Sungai Bengawan.
Ketika
si pekatik tersebut telah sampai di tempat tinggal Arya Penangsang,
kebetulan Arya Penangsang sedang mengadakan pasewakan bujana andrawina.
Surat dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu disodorkan oleh si
pekatik kepada Arya Penangsang. Melihat cara mengirimkan surat saja Arya
Penangsang sudah marah. Apalagi ketika ia membaca isinya. Dengan tidak
mengambil pertimbangan lagi ia segera mengambil keris saktinya yang
bernama Kyai Setan Kober dan langsung mengendarai kuda jantan andalannya
yang bernama Gagang Rimang menuju ke Sungai Bengawan.
Kuda
yang bernama Gagak Rimang ini adalah kuda andalan Arya Penangsang yang
biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak
Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar tetapi
lincah sekali. Warna bulunya yang hitam mengkilat, menjadikannya tampak
berwibawa.
Saat
Arya Penangsang sampai di pinggir kali Bengawan, ternyata Danang
Sutawijaya telah menunggunya di seberang sungai. Sesuai dengan pesan
ayahnya, Danang Sutawijaya datang dengan berkendaraan kuda betina serta
membawa tombak Kyai Plered.
Melihat
Danang Sutawijaya telah berada di seberang sungai, Arya Penangsang lalu
mulai berteriak-teriak menantangnya. Untunglah Danang Sutawijaya tetap
tenang. Karena sudah beberapa lama berteriak-teriak tetapi tidak
mendapat tanggapan, akhirnya ia menjadi marah. Ia tidak dapat lagi
mengendalikan emosinya, sehingga dengan tidak berpikir panjang Arya
Penangsang terus mencebur ke sungai.
Danang
Sutawijaya sangat bersenang hati melihat Arya Penangsang telah
mendahului mencebur sungai. Ia lalu turun menyusul ke sungai. Di tengah
Sungai Bengawan itu terjadilah perang tanding antara Arya Penangsang di
satu pihak melawan Danang Sutawijaya di lain pihak. Arya Penangsang
mengendarai Gagak Rimang, seekor kuda jantan, sedang Danang Sutawijaya
mengendarai kuda betina. Akibatnya kuda jantan milik Arya Penangsang
menjadi birahi. Selanjutnya, Gagak Rimang hanya mengekor si kuda betina,
sehingga gerak-geriknya sulit dikendalikan. Dan, Arya Penangsang pun
menjadi kewalahan.
Arya
Penangsang menjadi agak lengah karena perhatiannya sebagian dicurahkan
kepada Gagak Rimang yang sedang berontak itu. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Danang Sutawijaya. Dengan tombak Kyai Plered
ditusuklah perut Arya Penangsang. Akibatnya perut Arya Penangsang
menjadi robek dan usunya terburai.
Walaupun
ususnya telah menjulur keluar dari perut, tetapi Arya Penangsang masih
tetap hidup. Bahkan kelihatan lebih gigih menyerang lawannya. Dan,
supaya tidak mengganggu gerakannya, maka usus yang menjulur itu lalu
disampirkan pada pendok kerisnya. Peperangan pun terus dilanjutkan. Kali
ini Arya Penangsang malah kelihatan semakin ganas, sedang Danang
Sutawijaya posisinya mulai terdesak.
Melihat
keadaan Danang Sutawijaya yang kurang menguntungkan itu, maka Ki Ageng
Pemanahan yang dari awal telah bersembunyi di atas bukit, segera
menggunakan siasatnya. Ia pura-pura memihak Arya Penangsang. Dengan
lantang ia meneriakkan kata-kata, “Bunuh saja Danang Sutawijaya!”
Siasat
itu ternyata berhasil. Arya Penangsang menjadi lebih bersemangat lagi
menyerang. Dengan membabi buta dan tanpa perhitungan ia terus maju.
Namun, karena terbawa emosi maka ia kurang berhati-hati, sehingga
kerisnya malah mengenai dan memutuskan ususnya sendiri. Arya Penangsang
tewas seketika.
Setelah
Arya Penangsang tewas, maka Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian
menghadap Kanjeng Sultan Pajang, melapor bahwa Danang Sutawijaya telah
berhasil membunuh Arya Penangsang. Mendengar berita ini, Sultan Pajang
sangat gembira. Singkat cerita, setelah kedua patih itu berhasil
melaksanakan tugasnya, mereka dihadiahi tanah Pati dan Mentoak, seperti
apa yang telah dijanjikan sebelumnya.
Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu berunding. Dalam perundingan itu
diperoleh kata sepakat bahwa Ki Penjawi mendapat tanah di Pati, sedang
Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah Mentoak. Sesudah kesepakatan dicapai,
keduanya lalu menuju ke tempat bagiannya masing-masing.
Sewaktu
akan berangkat ke Mentoak, Ki Ageng Pemanahan mengajak Danang
Sutawijaya untuk ikut serta pindah ke sana. Demikianlah, tanah Mentoak
yang semula berwujud hutan belantara yang mengerikan dan membahayakan,
akhirnya berubah menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan
Mataram.
Sumber:
Diadaptasi
bebas dari Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
APA KABAR PENGUNJUNG
BalasHapus